Tana Toraja boleh jadi telah berhasil mengundang para traveler dari berbagai belahan dunia lewat segenap keunikan yang dimilikinya. Hampir di setiap musim liburan, Tator, sebutan popular untuk Tana Toraja, selalu dipadati para wisatawan yang ingin menyaksikan keajaiban alam dan budayanya.
Sebelumnya, Tator merupakan sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan dengan Makale sebagai ibukota kabupaten. Namun sejak tahun 2008 lalu, wilayah ini mengalami pemekaran dan terbagi dua kabupaten, yakni kabupaten Tator yang beribukotakan Makale dan kabupaten Toraja Utara dengan ibu kotanya Rantepao, sebagai pusat pemerintahan.
Menurut catatan, Tana Toraja pernah menyandang nama “Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo“, yang berarti negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya yang merupakan kesatuan yang bulat, bagaikan bulan dan matahari. Nama Toraja sendiri baru populer sejak abad ke-17, sejak daerah ini membuka hubungan dengan beberapa kerajaan di sekitarnya, seperti kerajaan Bone, Sidenreng dan Luwu.
Hingga kini ada dua versi yang berbeda terkait dengan arti nama Toraja. Versi pertama menyebutkan bahwa kata “Toraja” berasal dari bahasa Bugis, yakni dari kata ‘To’ dan ‘Riaja’ yang berarti orang dari utara. Versi lainnya mengacu dari sebutan orang-orang dari daerah Luwu, pada pemulaan abad ke-19, dimana arti Toraja adalah arti orang dari barat.
Sampai saat ini masyarakat Tana Toraja masih mempertahankan tradisi Austronesia asli yang diwariskan oleh leluhurnya dan mirip tradisi suku Nias, di Sumatera Utara. Uniknya, tradisi tua yang disebut Aluk Todolo itu masih berlanjut sampai sekarang walaupun sebagian besar warga suku Toraja kini telah memeluk ajaran Nasrani. Hal itu nampak pada beragam ritual, terutama dalam upacara atau pesta kematian.
Toraja Pesta
Di banyak tempat atau daerah, pesta selalu identik dengan suasana kegembiraan, kebahagiaan serta kemeriahan. Tapi, pesta di Tator sedikit berbeda. Pesta yang paling besar meriah justru dirayakan untuk menyambut momen yang buat sebagian besar kalangan justru dianggap menyedihkan, yaitu kematian. Bahkan boleh dibilang, suasana pesta kematian di Toraja berjalan jauh lebih meriah dan semarak dibanding pesta pernikahan atau pesta lainnya.
Bagi suku Toraja, kematian adalah fase penting dalam kehidupan. Oleh sebab itu, beragam ritual yang bersifat sakral atau suci digelar untuk menyambut momen ini.
Mengingat banyaknya prosesi yang harus dilakukan dan besarnya biaya yang dibutuhkan, maka pesta kematian ini bisa digelar berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dari hari kematian seseorang. Namun demikian, pesta yang melibatkan ribuan tamu ini hanya bisa digelar oleh mereka yang berasal dari keturunan bangsawan.
Penyembelihan kerbau adalah puncak acara pesta kematian. Tak heran bila prosesi ini berlangsung sangat meriah. Jumlah kerbau yang disembelih pun bukan hanya dalam hitungan jari, tapi bisa mencapai puluhan hingga ratusan ekor.
Hal ini tak lepas dari kepercayaan orang Toraja yang menganggap kerbau sebagai “kendaraan” bagi orang yang meninggal. Semakin banyak kerbau yang disembelih dalam sebuah pesta kematian, maka akan semakin cepat arwah orang yang meninggal untuk menuju puya (surga).
Sebelumnya prosesi penyembelihan kerbau, tuan rumah biasanya menggelar acara adu kerbau di sebuah lapangan luas. Acara ini bisa menjadi hiburan tersendiri bagi warga yang menyaksikannya.
Pesona Gunung Nona
Patut diakui, perjalanan ke Tator hingga saat ini memang belum bisa dibilang mudah. Dari Makassar, kita harus menempuh perjalanan darat sejauh 320 km, dengan waktu tempuh sekitar 7 hingga 8 jam, dari Makassar. Meski demikian, perjalanannya sangat menyenangkan karena medan dan suasananya yang bervariasi. Sepanjang jalan anda akan melalui jalan mendatar, suasana pantai, persawahan, perbukitan dan rangkaian pegunungan, perkotaan, pedesaan, plus suguhan panorama yang memikat.
Terlebih saat melintasi Kota Enrekang, kabupaten terakhir menjelang perbatasan Tana Toraja. Anda akan disuguhkan panorama berupa rangkaian punggungan gunung. Bila beruntung, anda akan menyaksikan sebuah bongkahan batu raksasa yang menjulang ke angkasa, yang oleh warga setempat disebut dengan Buttu Bampapuang.
Di sini juga terdapat sebuah gunung dengan bentangan alamnya yang unik, yaitu Buttu Kabobong alias Gunung Nona. Namanya memang sangat lekat dengan kaum wanita. Percaya atau tidak, yang pasti, pemandangan alam di tempat ini akan membuat anda terpesona saat melihatnya.
Dengan panorama alamnya yang menawan, maka tak heran bila lokasi ini menjadi stop point para wisatawan yang hendak menuju Tator atau pun sebaliknya. Tak sedikit kendaraan yang berhenti dan singgah di rumah makan yang berjajar di sisi jalan untuk melepas lelah sambil meresapi panorama Gunung Nona dan udaranya yang sejuk.
Simbol Tradisi Tua
Secara umum, destinasi wisata di Tator terpusat di dua daerah yakni, di selatan dan utara Rantepao. Kawasan di selatan memiliki rute yang cenderung datar dan bahkan menurun, sedangkan di utara sebaliknya.
Sebagai awalan, saya menyempatkan diri singgah Pasar Bolu, yang kebetulan bertepatan dengan jatuhnya hari pasar. Setiap hari pasar, Pasar Bolu menjadi pusat penjualan hewan dan dipadati para penjual kerbau. Di pasar ini kita dapat menjumpai beragam jenis kerbau yang ditawarkan oleh para penjualnya dengan harganya yang bervariasi. Harganya mungkin bisa membuat anda geleng kepala. Sebab, harga untuk seekor kerbau ada yang dipatok hingga 80 juta rupiah.
Dari Rantepao, perjalanan dilanjutkan ke lokasi lain. Setelah menyusuri jalan aspal sejauh 4 kilometer, kendaraan kami berhenti di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Ke’te’ Kesu’.
Ke’te’ Kesu’ adalah sebuah desa yang unik. Suasana desa ini masih kental dengan tradisi Toraja yang masih orisinil. Desa adalah milik keluarga Sarungallo, salah satu keluarga bangsawan terkemuka yang kemudian dan menghibahkan untuk dijadikan destinasi wisata.
Setelah menyusuri jalan batu dengan berjalan kaki, anda akan disambut oleh sejumlah rumah adat yang saling berhadapan dan berjajar dengan rapi. Sangat mengagumkan. Beberapa Tongkonan dihiasi patung kepala kerbau putih-hitam, berikut tanduk kerbau asli di tiang utamanya.
Selain memberikan nuansa desa Toraja tempo dulu, di bagian belakang desa ini terdapat tebing-tebing yang digunakan sebagai area pemakaman. Kubur batu di Ke’te’ Kesu’ termasuk yang tertua di Tator. Usianya diperkirakan lebih dari 700 tahun. Saat menyusuri jalan yang menanjak, anda dapat menjumpai tengkorak dan tulang belulang. Suasananya memang bisa membuat bulu kuduk berdiri. Tapi, inilah salah satu keunikan dari tradisi saudara kita yang mendiami di lereng Gunung Sesean ini.
Lokasi berikutnya adalah sebuah tempat yang disebut Lemo. Lemo adalah salah satu area pemakaman yang juga telah ditetapkan menjadi kawasan wisata. Di tebing tinggi yang menghadap persawahan inilah tempat disemayamkannya sejumlah bangsawan di Tator. Perawakan mereka yang telah beristirahat damai di tempat ini tergambar jelas pada tau-tau (patung kayu) yang dibariskan di dinding tebing.
Tempat lain yang tak kalah menarik adalah Londa. Terletak di desa Sendan Uai, Kec. Sanggalai, di sini juga terdapat area pemakaman yang menjadi destinasi wisata yang populer. Sedikit berbeda dengan Lemo, pemakaman yang berjarak 7 kilometer di selatan Kota Makale ini memanfaatkan gua alam, selain tebing yang berbaris kawasan ini. Di lorong gua tersebut tersimpan puluhan jenazah manusia berikut peti jenazah yang sebagian tinggal berupa tulang atau tengkorak. Sebagian diantaranya telah tersimpan ratusan tahun. Sebagai penghormatan, di bagian atas mulut gua terdapat space yang berisi replika, patung dari mereka yang telah dimakamkan di sini.
Suku Toraja rupanya juga memiliki tata cara tersendiri dalam hal pemakaman bagi bayi. Bila kalangan dewasa lebih banyak dimakamkan di tebing tinggi atau di dalam gua, tidak demikian halnya bagi bayi. Hal itu terbukti saat saya singgah di Desa Kambira, dimana terdapat passiliran atau makam yang dikhususkan untuk bayi.
Dalam kepercayaan kuno Toraja, bayi yang meninggal dimakamkan dengan cara tertentu, yakni dimasukkan ke dalam batang utama pohon. tapi pohon yang digunakan bukan pohon sembarangan, melainkan pohon Tarra’. Pohon ini dipilih karena mengandung banyak getah. Oleh masyarakat Toraja, getah pohon ini dipercaya sebagai pengganti susu sang ibu, sehingga membuat sang bayi akan serasa kembali ke rahim ibunya. Hal ini juga dipercaya dapat menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir di kemudian hari.
Tapi, rupanya tidak semua bayi bisa dimakamkan di pohon ini. Sebab bayi dimakamkan di sini adalah bayi yang belum memiliki gigi ketika meninggal.
Pohon Tarra’ yang ada di Kambira cukup besar, dengan diameter 80 hingga 300 sentimeter. Di sepanjang batang utamanya terdapat lubang-lubang yang ditutupi dengan ijuk, yang bersusun hingga bagian atas.
Peletakan jenazah bayi di pohon Tarra’ disesuaikan dengan strata sosial keluarga orang tua sang bayi. Artinya makin tinggi derajat sosial keluarga, maka makin tinggi letak makam si anak. Lubang yang ada di pohon tersebut juga dibuat searah dengan tempat tinggal keluarga orang tua.
Indahnya Batutumonga
Hari berganti. Kalau sebelumnya saya menjelajahi bagian selatan, hari ini adalah waktunya untuk menyusuri sisi Tator yang lain, yaitu bagian utara.
Kawasan utara Tator memang kurang popular dibandingkan dengan daerah selatan. Itu terjadi karena untuk mencapai sejumlah tempat menarik di wilayah ini memiliki tantangan tersendiri. Selain jalannya yang cenderung menanjak dan belum terlalu lebar, jarak antara satu lokasi dengan lokasi lainnya relatif berjauhan.
Setelah melahap sejumlah tanjakan dan kelokan tajam, kami berhenti di sebuah lokasi yang berada di sisi jurang dalam dan yang menyuguhkan panorama Tator yang berbeda. Tinombayo memang merupakan stop point untuk menuju Batutumonga. Ratusan meter di bawah sana terdapat lembah luas yang berupa persawahan dan diselingi pedesaan. Sementara, nun jauh di sana, Nampak gugusan pegunungan yang hijau. Sungguh memikat!
Perhentian kami berikutnya adalah Batutumonga, sebuah dataran tinggi yang telah menjadi destinasi favorit di utara Tator. Berada di ketinggian 1.300 meter dari muka laut dan memiliki udara yang sejuk, lokasi ini menyuguhkan bentangan alam persawahan dan pegunungan serta Kota Rantepao. Tempat ini juga telah dilengkapi sebuah restoran berikut gerai souvenir sehingga setiap pengunjung bisa menikmati suasana alam sekitar dengan nyaman.
Lokomata adalah spot menarik lain yang terdapat di kawasan Batutumonga. Berjarak sekitar 2 kilometer dari puncak pemandangan, di sini anda akan menjumpai sebuah area pemakaman. Sedikit berbeda dengan Lemo atau Londa, warga di sini memanfaatkan bongkahan batu-batu raksasa yang tersebar daerah ini.
Dari Lokomata, perjalanan diarahkan ke Rantepao. Tapi sebelumnya, kami menyempatkan diri untuk singgah di sebuah situs lagi yang berada di Bori’ Parinding, Kec. Sesean.
Dikenal dengan Situs Kalimbuang, di sini terdapat puluhan batu layaknya menhir. Batu tersebut berjajar di sebuah area khusus dan memiliki ukuran yang beragam. Bagi masyarakat Tator, batu-batu ini menjadi salah satu komponen penting dalam upacara kematian seorang pemuka adat atau orang yang dihormati.
Mencicipi Liarnya Alam Tator
Bila anda ingin mencoba sesuatu yang berbeda saat liburan di Tator, anda pun bisa mencoba sejumlah aktivitas petualangan. Rafting dan trekking merupakan dua aktivitas yang kerap dilakukan oleh wisatawan asing di daerah ini.
Ada dua sungai yang menjadi pusat kegiatan raft ing di Tator, yaitu sungai Mai’ting dan sungai Saadan. Sungai Mai’ting sangat pas dilakukan oleh para pemula mengingat kondisi sungainya yang relatif ramah. Walau begitu, sungai ini tetap menyuguhkan pengalaman petualangan yang berbeda lewat jeram-jeram sungainya yang menantang serta panorama alam sekitar yang natural. Waktu pengarungan di sungai ini tidak terlalu lama, yakni hanya sekitar 1,5 jam saja.
Lain halnya dengan sungai Saadan. Di kalangan rafter tanah air, sungai ini telah memiliki reputasi tersendiri. Hal ini tak lepas dari kondisi sungainya yang besar serta jeram-jeram yang bakal memompa adrenalin. Oleh karena itu, untuk mengarungi sungai terbesar di Tator ini memerlukan ketahanan mental yang memadai serta waktu yang lebih lama.
Trekking adalah aktivitas lain yang tak kalah seru. Dalam trip ini, Anda akan diajak menyusuri kawasan pedesaan, pematang sawah, kaki tebing sekaligus menikmati suguhan alam Tator yang indah. Para operator biasanya memiliki pilihan rute yang bisa disesuaikan dengan keinginan.
Di Rantepao sendiri ada sejumlah operator yang dapat membawa anda untuk mencicipi liarnya alam Tator yang salah satu operator wisata yang mengkhususkan diri pada aktivitas petualangan ini, adalah Indo’ Sella’ Expedition (Jl. A. Mappanyuki No. 113, Rantepao, Tel: (0423) 25210; www.sellatours.com). Selamat bertualang!
0 komentar:
Posting Komentar